Tahukah Anda, di bawah kepemimpinan Muammar Gaddafi, Libya mengalami kemajuan pesat di berbagai sektor. Negara ini bahkan sukses menjelma menjadi salah satu yang paling makmur di Afrika, dengan pendapatan per kapita melonjak dari hanya $40 pada tahun 1951 menjadi $8.170 pada 1979. Melampaui sejumlah negara maju saat itu.

Pemerintah memanfaatkan pendapatan besar dari sektor minyak untuk menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan perumahan secara gratis bagi seluruh rakyat Libya. Peningkatan signifikan dalam tingkat melek huruf menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sosial pada masa itu.
Salah satu proyek infrastruktur terbesar era Gaddafi adalah Great Man-Made River, jaringan pipa raksasa yang mengalirkan air dari akuifer di Gurun Sahara ke kota-kota di pesisir. Proyek irigasi terbesar di dunia ini menyuplai sekitar 70% dari seluruh kebutuhan air tawar nasional, sekaligus menjadi simbol keberhasilan teknologis Libya di bawah rezim Gaddafi.
Kejatuhan Gaddafi dan Intervensi NATO
Meskipun mencatat berbagai pencapaian ekonomi dan sosial, pemerintahan Gaddafi bersifat otoriter. Ia menindak keras perbedaan pendapat, menutup ruang oposisi politik, dan mengangkat anggota keluarga serta orang-orang terdekatnya ke posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Selain itu, Libya di bawah Gaddafi kerap dikaitkan dengan kelompok-kelompok anti-Barat dan dituduh terlibat dalam berbagai aksi terorisme internasional.
Kejatuhan Gaddafi terjadi di tengah gelombang Musim Semi Arab yang menyapu kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2011. Unjuk rasa besar-besaran pecah di Libya dan dengan cepat berubah menjadi konflik bersenjata. Menanggapi situasi yang memburuk, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 yang mengizinkan intervensi militer untuk melindungi warga sipil. Resolusi ini menjadi dasar bagi operasi militer NATO yang kemudian melancarkan serangan udara terhadap pasukan Gaddafi.
Pada 20 Oktober 2011, Muammar Gaddafi akhirnya ditangkap dan dibunuh oleh pasukan pemberontak di dekat kota kelahirannya, Sirte, menandai berakhirnya lebih dari empat dekade kekuasaannya.
Libya Setelah Gaddafi
Pasca tumbangnya Gaddafi, Libya terperosok ke dalam kekacauan dan konflik yang berkepanjangan. Negara ini terfragmentasi, dengan berbagai kelompok milisi bersenjata saling berebut kendali atas wilayah dan sumber daya. Pada tahun 2014, Libya bahkan memiliki dua pemerintahan yang saling bersaing, masing-masing mengklaim legitimasi politik dan internasional.
Kondisi ekonomi dan sosial mengalami kemunduran drastis. Inflasi melonjak tinggi, pengangguran merajalela, dan akses terhadap layanan dasar seperti listrik dan air bersih menjadi sangat terbatas. Negara yang dulu dikenal sebagai salah satu yang paling sejahtera di Afrika berubah menjadi negara gagal (failed state), di mana otoritas negara digantikan oleh kekuasaan informal para pemimpin milisi.
Salah satu konsekuensi paling mengerikan dari keruntuhan negara adalah munculnya pasar perbudakan modern. Migran dari negara-negara sub-Sahara yang mencoba melintasi Libya untuk menuju Eropa seringkali menjadi korban penculikan, penyiksaan, dan perdagangan manusia yang dilakukan oleh kelompok kriminal dan milisi bersenjata.
Demikian kisah Libya nan tragis, jadi sasaran pengeroyokan oleh bangsa lain karena takut akan tersaingi. (SP-01)