Lubuk Larangan Batang Takuang: Kearifan Lokal yang Menjaga Ekosistem dan Merekatkan Persaudaraan

Muarotakung, sijunjungpost — Di Nagari Muaro Takung, Kecamatan Kamangbaru, Kabupaten Sijunjung, terdapat kearifan lokal yang terus dijaga secara turun-temurun: pengelolaan lubuk larangan berbasis hukum sosial dan adat. Tradisi ini tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga mempererat ikatan sosial masyarakat.

Lubuk larangan merupakan kawasan aliran sungai yang dilarang untuk diambil ikannya dalam jangka waktu tertentu. Di Nagari Muaro Takung, kawasan ini dikelola secara kolektif oleh pemerintah nagari, ninik mamak, alim ulama, dan pemuda. Semua unsur masyarakat patuh terhadap aturan adat yang telah ditetapkan bersama.

Tokoh masyarakat setempat, Indrawadi, mengatakan bahwa pengelolaan lubuk larangan kembali diberlakukan untuk tahun 2025. Ikan yang dibudidayakan adalah ikan gariang, spesies endemik air deras, dengan jumlah mencapai ribuan ekor. Proses budidaya dimulai dari pelepasan bibit  yang disaksikan oleh seluruh unsur masyarakat nagari.

Selama masa pembesaran, warga dipersilakan memberi pakan ikan secara sukarela. Selain itu, perangkat nagari, tokoh adat, dan ulama juga turut terlibat aktif dalam merawat ekosistem sungai.

Aliran sungai yang menjadi lubuk larangan membentang lebih dari 800 meter, dengan titik utama berada di bawah Jembatan Muaro Takung, yang memang memiliki kedalaman strategis untuk budidaya.

Yang unik, tidak ada petugas khusus yang menjaga lubuk larangan ini. Perlindungan dilakukan secara spiritual melalui ritual doa dan perkhaulan yang dipimpin ulama nagari, disaksikan oleh para tokoh masyarakat dan ratusan warga. Prosesi ini dianggap sakral, sehingga masyarakat merasa tabu untuk melanggar adat dengan cara memancing atau menjaring ikan di luar waktu yang ditentukan.

“Ikan-ikan itu tidak dijaga oleh petugas, hanya dipagar dengan doa oleh ulama dalam ritual adat. Alhasil, tak ada warga yang berani melanggar,” ujar Indrawadi.

Ia menambahkan, lubuk larangan bukan sekadar tradisi budidaya, tetapi juga simbol kepedulian terhadap kelestarian ekosistem alam. Sungai Batang Takuang menjadi sumber kehidupan, mulai dari tempat penambangan pasir secara tradisional, hingga sumber air bersih saat musim kemarau.

Wali Nagari Muaro Takung, Iswadi, mengungkapkan bahwa lubuk larangan ini kembali diaktifkan selama tahun 2025 setelah sebelumnya digelar panen raya selama seminggu untuk umum. Masyarakat dari berbagai daerah datang dengan antusias, dan mereka membawa hasil tangkapan cukup banyak.  Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk sebagai bentuk kontribusi.

Panen raya dilakukan dengan berbagai cara: memancing, menjala, hingga memanah ikan. Suasana makin meriah dengan digelarnya dapur umum dan hajatan makan bersama sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.

“Setelah setahun dipelihara, banyak ikan yang ditangkap masyarakat memiliki bobot lebih dari 5 kilogram. Warga merasa puas, hasil tangkapan dibawa pulang, dimasak, atau dijual,” kata Iswadi.

Tradisi lubuk larangan ini bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial antara anak kemenakan, ninik mamak, bundo kanduang, dan alim ulama. Nilai-nilai ini menjadikan Nagari Muaro Takung sebagai contoh harmoni antara manusia dan alam, serta antarmanusia itu sendiri. (Nila)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *